"Kenapa tak kau tatap pantulan wajahmu di cermin itu?"
"Ada yang tak ingin kulihat."
"Lalu kenapa kau masih berdiri di sana?"
"Ada yang ingin kulihat."
"Kau mulai membingungkanku."
"Aku sangat ingin melihat senyumku."
"Angkat wajahmu, tatap cermin itu!"
"Aku takut melihat luka di mataku."
"Kau benar-benar membuatku bingung sekarang."
"Sakit di dada ini mulai menyesakkan, tahukah kamu?"
"Kau memang tak pernah mengatakannya padaku, tapi aku tahu."
"Aku tetap tersenyum meskipun luka ini tak pernah mau enyah dari mataku."
"Aku bisa melihatnya."
"Benarkah?"
"Ya."
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"
"Maukah kau memelukku?"
"Apakah itu akan membuatmu merasa lebih baik?"
"Aku butuh menangis di pelukmu."
"Kemarilah, menangislah di pelukku."
"Cukup! Jangan lagi membodohiku! Aku tahu kamu tak nyata. Kamu hanyalah produk imajinasiku ketika aku tak sanggup menghadapi dunia. Kamu tak tersentuh, tak akan bisa aku menagis di pelukmu!"
"Aku tak membodohimu. Kau yang terus menerus mempertahankanku. Sekarang, apakah kau akan membiarkanku pergi?"
"..."
"Katakan! Katakan apa yang kau ingin aku lakukan!"
"Tetaplah di sini. Temani aku melihat pantulan wajahku di cermin ini."
"Angkat wajahmu, lihatlah apa yang ingin kau lihat, abaikan yang tak kau inginkan."
"Tidak, tidak sekarang."
27 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar