Twit terakhir saya tadi bohong. Saya tidak bisa tersenyum. Setiap kali saya tarik sudut bibir saya membentuk senyuman. Setiap kali itu pula saya merasa ada desiran perih di dada.
Semestinya saya sudah tak perlu lagi memalsukan senyum. Toh ini sudah lewat tengah malam. Sudah tak ada lagi yang terbangun di rumah ini. Isakan lirih tak akan membangunkan tidur lelap mereka. Tapi bukankah saya memang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa saya ini cengeng?
Maka setengah mati saya mencoba agar air yang menggenang di mata ini mengering sebelum mengalir ke pipi.
Saya merindukannya. Sangat. Bukan rindu yang merayapi hati dengan pelan. Tapi rindu yang tiba-tiba saja menyergap kesadaran ketika terlalu sunyi malam namun riuh pikiran.
Waktu yang merambat pelan menuju Jumat. Senyap yang menyesakkan. Dan ingatan tentangnya mengalir deras dalam pikiran. Begitu pekat. Hingga segala yang tersentuh menggiring saya hanya pada satu nama, namanya.
Doa. Sudah saya lafalkan doa-doa. Seperti saran mereka setiap kali saya katakan saya merindukannya. Tapi rindu saya tak berkurang juga. Malah semakin pekat terasa di dada. Nyaris menyesakkan.
Apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya tahu saya tak akan mampu mendengar adzan subuh pagi ini tanpa air mata. Tapi saya takut bermimpi tentangnya. Mimpi yang begitu nyata yang akan membuat saya terbangun dan percaya dia akan mampir ke rumah akhir minggu ini. Seperti biasanya.
Saya harus bagaimana?
Sudah, jangan berharap sama yang ga pasti. Sampingkan dulu, utamakan yang pasti saja. :)
BalasHapusIni bukan tentang mengharapkan seseorang =)
Hapus