Aku coba mengingat kapan kita menjadi dekat.
Sekitar enam tahun lalu. Saat kau dengan muka isengmu memanggilku Pebri dan kupanggil kau Raden Ayu Silva kah? Benarkah sejak
accident nama dada itu kita menjadi dekat? Entahlah, yang aku tahu pasti, kau tak berhenti memanggilku dengan nama itu hingga saat terakhirmu.
Apakah kita sudah dekat ketika sering kau pinjam catatanku dan bersedia kapanpun mengantarnya ke rumah saat aku membutuhkannya?
Sudahkah kita dekat ketika kau pinjam Troy dariku?
Ah, sepertinya aku sudah tak bisa lagi mengingat kapan kita menjadi dekat, Kring.
Yang aku tahu, entah sejak kapan, kita selalu bertukar info tentang film.
Aku ingat kata-katamu, “Nonton film ki sing
cover e ana gambar pialane, Peb!”
Sejak itu aku tahu, selera kita sama. Bukan film-film
box office yang kita buru.
Apa kau tahu Kring, kehilanganmu berarti kehilangan seseorang untuk berbagi cerita tentang film?
Aku memang tak bisa banyak berbagi tentang buku. Kau tak terlalu suka membaca. Bukankah satu-satunya buku yang berhasil kau tamatkan dalam lima hari adalah 'Angels and Demons'? Ah, kau sangat bangga saat itu. Dan kau mengungguliku, bahkan hingga saat ini, karena aku tak pernah membaca satu-satunya buku yang berhasil membuatmu tak tertidur di halaman pertama.
Entah sejak kapan kita jadi sering bertukar cerita tentang orang-orang yang menarik perhatian kita. “Kok ga cerita?”, tanyamu waktu kuakui telah ada seseorang saat itu. Tahukah kau aku menyesal tak membaginya padamu? Itulah mengapa aku selalu berusaha membagi senang sedihku setelah itu.
Kau orang pertama yang tahu aku tak lagi dengannya. Kau yang tahu kenapa kami hentikan langkah kami. Kau yang tak pernah menghakimiku. Dan lagu 'I Will Survive' dari Cake mengiringi curhatku hari itu. Seperti biasa, kau masih dengan segala gurauanmu. Dan kau membuatku tertawa di saat-saat sedihku. Membuatku tegar dengan caramu. “Jangan pernah biarkan orang yang menyakitimu tahu bahwa dia menyakitimu, bahkan jika kau menangis karenanya. Jangan sampai dia tahu.”
Kau mulai senang menyanyikan Jendela Kelas Satu milik Iwan Fals saat itu. Suatu ketika kulihat rentetan kata dalam
outbox-mu. Dan aku tahu kau menyimpan sebuah cerita. Cerita yang pada akhirnya hanya kau buka untukku. Maka sejak saat itu, sering kau bagi risaumu tentangnya. Kau membuatku tahu sisi lainmu. Ketika aku tanyakan apakah kau tak lelah dengan rasamu. Kau katakana dengan senyum mengembang di bibirmu, “
As long as I know how to love, I know I’ll be alive. Tenang wae Peb, Allah kan wes janji, wong apik bakal oleh wong apik.”
Ya, kita sudah dekat saat itu. Dan aku sangat bangga menyebutmu sahabatku. Entah sudah berapa banyak cerita yang kita bagi. Aku tahu, kau hebat dengan caramu. Aku belajar banyak hal darimu, Kring.
Kita tetap dekat, bahkan ketika kau lanjutkan kuliah di kota lain. “
Keep contact ya!”, itu katamu saat kau hendak tinggalkan Solo. Aku pikir kau akan menghilang seperti yang lainnya. Aku lega aku salah berpikir begitu. Dua kali nyaris kita tak bisa lagi berkomunikasi, tapi kau selalu berhasil menghubungiku. Kau selalu mampir saat liburan. Entah untuk membawakan berbagai film yang kau rekomendasikan atau hanya untuk bertukar cerita. Dan kau akan sangat sebal ketika aku tak cepat membalas sms yang mengabarkan keinginanmu mengunjungiku. “Ngasi kuru aku nunggu balesanmu, Peb!”
Tahukah kamu Kring, aku mengubah banyak sekali bayangan masa depanku sejak kau pergi. Dulu, persahabatan kita memberikan bayangan indah tentang saat-saat dewasa kita bersama. Seperti katamu, aku akan jadi psikolog pribadimu. Kau akan menjadi sarjana teknik elektro yang sukses. Akan aku perkenalkan orang spesialku padamu, bahkan jauh sebelum dia jadi orang spesial bagiku mungkin. Begitupun dirimu. Akan kau ajak bidadarimu ke rumahku. Suatu ketika kita berempat akan membagi waktu bersama di sudut nyaman sebuah kafe, menikmati kopi kita masing-masing, berbagi cerita. Aku akan melihatmu menghadiri saat-saat spesialku. Wisudaku. Pernikahanku. Dan aku pun akan ada di saat kau memakai toga maupun baju nikahmu. Aku akan mengunjungi keluarga kecilmu, begitu pula sebaliknya. Anak-anak kita akan meneruskan persahabatan kita. Ah, itu bayangan ketika kupikir kita, secara nyata, akan selalu ada untuk satu sama lain hingga tua nanti, Kring. Allah berkata lain ternyata. Dan aku harus merombak mimpi-mimpiku sejak kepergianmu.
Tak apa. Aku akan baik-baik saja. Sesekali aku memang membiarkan diriku menikmati kenangan kita. Aku mengunjungi tempatmu terbaring kaku, berusaha tetap menulis untukmu, entah di saat senang maupun sedihku. Tapi tak kubiarkan diriku menangisimu, tak merelakanmu, menyesali semua yang tak sempat kulakukan untukmu. Hey, aku berusaha ikhlas, Kring.
I do. Bukankah kita telah sepakat bahwa segalanya terjadi untuk alasan tertentu?
I still believe that. Itu yang membuatku bertahan di saat-saat sulitku.
Damai di sana ya, Kring. Jangan bosan mendengar ceritaku =)
21 Agustus 2009